Marilah kita mulai dengan mengangkat
sebuah cerita tiga orang tokoh di telaga Mawang. Cerita ini diambil dari sebuah
Lontara tentang hikayat Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka. Ketiga tokoh itu adalah
Lu'muka ri Antang, Datoka ri Pa'gentungang dan Tuanta Salamaka. Ketiganya
sedang memancing ikan di Mawang dalam keadaan hujan rintik-rintik diselingi
sekali-sekali dengan sambaran kilat. Hampir serempak mereka ketiganya
menggulung rokok. Setelah rokok digulung, Lu'muka ri Antang menyulut rokoknya
pada titik hujan yang menitik melalui saraungnya, yaitu semacam topi (sombrero)
yang dipakai oleh petani di sawah ataupun nelayan di laut. Datoka ri
Pa'gentungan membakar rokoknya ketika kilat sedang menyambar. Sedangkan Tuanta
Salamaka turun ke telaga Mawang, memasukkan tangannya yang memegang rokok
hingga siku, kemudian menarik tangannya keluar air, dan menyalalah rokoknya.
Cerita itu berbau mistik.
Sebenarnya di situlah letak
kejeniusan nenek moyang kita. Menyelipkan cerita yang berbau mistik dalam suatu
cerita. Perisitiwa di telaga Mawang itu sebenarnya mengandung sebuah pesan
berupa ilmu yang tersirat, yang perlu disimak, dicerna dengan mempergunakan
akal budi. Apa yang diceritakan pengarang hikayat Tuanta Salamaka di telaga
Mawang itu mengandung ilmu yang tersirat, yang disajikan dalam gaya
perumpamaan, yang kelihatannya berbungkus mistik. Inilah gaya para ilmuwan
nenek moyang kita. Inilah gaya dalam ilmu tradisional, yang tidak disodorkan
secara langsung, melainkan harus disimak apa yang tersirat dibalik bungkusan mistik
itu.
Adapun Lu'muka ri Antang yang
menyulut rokoknya di titik air hujan yang menitik melalui saraungnya, maksudnya
adalah suatu sikap attayang panggamaseang batu ri Allataala. Menanti Rahmat
Allah SWT. Menanti bukan sembarang menanti, melainkan menanti dengan
mempersiapkan diri untuk Rahmat Allah. Ini dilambangkan dengan saraung di atas
kepala. Tanpa saraung ia tidak akan mendapatkan titik air yang dikehendakinya.
Secara ruang lingkup yang lebih luas, sikap menanti Rahmat Allah SWT, adalah
mereka para petani yang mengerjakan sawah tadah hujan.
Adapun Datoka ri Pa'gentungang yang
membakar rokoknya melalui sambaran kilat, melambangkan suatu sikap yang selalu
menyiapkan dirinya untuk mendapatkan Rahmat Allah dengan meraih kesempatan yang
liwat di depaannya, walaupun yang akan diraih itu melintas dengan sanangat
cepat ibarat kilat. Mereka ini di zaman dahulu maupun sekarang adalah para
entrepreneur yang sigap.
Dan yang terakhir, Tuanta Salamaka
yang masuk ke dalam telaga adalah melambangkan orang yang sangat
bersungguh-sungguh untuk mendapatkan Rahmat Allah, tidak hanya sekadar menunggu
seperti Lu'muka ri Antang, juga bukan hanya sekadar meraih kesempatan yang
melintas seperti Datoka ri Pa'gentungang, melainkan menyonsong datangnya Rahmat
Allah.
Inilah pelajaran yang dapat kita
sauk dari ilmu tradisional warisan nenek moyang kita. Membungkus ilmu yang
sangat berguna bagi kita di dalam bungkusan yang berbau mistik. Kesimpulannya
ilmu tradisonal yang semacam itu masih sangat relevan hingga dewasa ini dan insya-Allah
masih akan relevan di waktu yang akan datang. WaLlahu a'lamu bishshawab.
( Kumpulan Tulisan H.M. Nur Abdurrohman )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar